Bukan Usaha Milik Negara? - 3
Shalahuddin Haikal*)
Smart people don't learn......because they have too much invested in
proving what they know and avoiding being seen as not knowing (Chris Argyris)
Sengaja saya kutipkan quote dari
Chrys Argyris sebagai lampu sorot pertunjukan menjelang akhir tahun 2017.
Tontonan pertama penuh sensasi baru saja reda, masuk ke pertunjukan kedua yang
spektakuler. Hari Rabu tanggal 29 Nopember 2017 tiga BUMN, Tbk, yakni Aneka
Tambang, Tambang Timah dan Bukit Asam telah melaksanakan Rapat Umum Luar Biasa
Pemegang Saham untuk meminta persetujuan pemegang saham sehubungan dengan
perubahan Anggaran Dasar masing-masing perusahaan yang akan merubah status
badan hukum dari BUMN yang tunduk patuh kepada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN
menjadi hanya tunduk patuh kepada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Hajatan RUPSLB ini dilaksanakan sebagai kelanjutan dari terbitnya PP
No 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan
Usaha Milik Negara Dan Perseroan Terbatas. Agar tidak masuk ke teknis rule making rules kedua PP tersebut,
tulisan ini hanya akan menjelaskan implikasi dari PP No 72 Tahun 2016 yakni
berubahnya BUMN-BUMN yang semula mutlak comply
pada UU No 19 Tahun 2003 (UU BUMN) menjadi cukup comply dengan UU No 40 Tahun 2007 (UU Perseroan Terbatas) saja.
PP No 72 Tahun 2016 sempat menjadi
isue hangat manakala KAHMI mengajukan judicial reviu ke Mahkamah Agung yang
berbuah amar putusan niet ontvankelijke
verklaard melalui Putusan Nomor 21 P/HUM/2017 tanggal 8 juni 2017. Putusan
MA tersebut tidaklah mengejutkan, karena dalam perkara yang serupa dan
sebangun, yakni pada saat Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara,
mengajukan reviu judisial atas PP Nomor 72 Tahun 2014 Tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan
Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III, MA-pun menolak permohonan uji
materi. Untuk mengingatkan kembali bahwa PP No 72 Tahun 2014 adalah upaya
holdingisasi PTPN yang berjumlah lebih dari 1 lusin. Modusnya adalah pemerintah
menambah setoran modal di PTPN III secara inbreng dalam bentuk saham-saham
negara di PTPN I; PTPN II; PTPN IV s.d PTPN XIV. Karena transaksi ini pula maka
tiga belas PT (Persero) Perkebunan Negara berubah menjadi perseroan terbatas biasa
(tidak pakai prefix Persero).
Kait berkait dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
62/PUU-XI/2013 sehingga sah jika diartikan secara tekstual maupun kontekstual dengan
merujuk UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, frasa “berubah menjadi
perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas”, ini-lah yang disebut sebagai privatisasi.
Implikasinya adalah semula BUMN terkait dengan keuangan negara, menjadi lepas
dan tidak lagi berhubungan dengan keuangan negara. Bentuk privatisasi bukan
hanya memperluas kepemilikan saham BUMN kepada masyarakat.
Setelah upaya reviu judisial ditolak,
maka negara sebagai pemilik saham-saham BUMN, melalui pemerintah, dalam hal ini
Menteri Keuangan akan melaksanakan holdingingisasi BUMN dengan mengimplementasi
PP No 72 Tahun 2016. Dimulai dari holdingisasi BUMN sektor tambang. Melalui
RUPSLB tersebut, maka pemegang saham mayoritas sekaligus pemegang saham
pengendali di PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah dan PT Bukit Asam adalah PT
(Persero) Inalum, selama OJK dan BEI beranggapan bahwa transaksi inbreng saham
tersebut bukan transaksi material dan berbenturan kepentingan sudah pasti akan
terlaksana.
Persoalannya adalah selama BUMN
didefinisikan sebagai badan usaha yang paling sedikit 51 % (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya
mengejar keuntungan, artinya jika kepemilikan negara kurang dari 51%, maka badan
usaha tersebut tidak lagi dapat dikategori sebagai BUMN, melainkan sebatas
penyertaan saham negara di perusahaan privaat. Menjadikan BUMN sebagai entitas
privaat, berarti privatisasi. Dengan term “privatisasi”, dalam kaitannya dengan
Keuangan Negara, maka Pasal 74 sampai dengan Pasal 84 UU No 19 Tahun 2003 perlu
diikuti pasal demi pasal.
Dengan minimum threshold 51%
saham-sahamnya dimiliki negara dan perubahan compliance status dari UU BUMN menjadi UU PT, qua, perpindahan kepemilikan saham-saham PT Aneka Tambang, PT
Tambang Timah dan PT Bukit Asam dari negara kepada PT (Persero) Inalum adalah
privatisasi. Hal yang sama juga berlaku untuk implementasi PP Nomor 72 Tahun
2014 yang telah mengakibatkan peralihan kepemilikan saham mayoritas oleh negara
di PTPN I; PTPN II; PTPN IV s.d PTPN XIV menjadi milik PTPN III.
Sedikit catatan tambahan untuk
menyegarkan ingatan kita, PP Nomor 72 Tahun 2014 terbit pada masa-masa kritis,
yakni 2 pekan sebelum DPR masa tugas (periode) 2009-2014 berakhir dan 2 pekan
sebelum DPR (periode) 2014-2019 memulai tenurnya. Meskipun terbit di akhir
periode DPR periode sebelumnya, DPR periode setelahnya sama sekali tidak pernah
mempersoalkan PP Nomor 72 Tahun 2014.
Kesamaan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014 adalah kekuatannya sebagai mantera penghilang BUMN. Dengan kedua PP ini secara kimiawi BUMN telah menyublim menjadi badan hukum privaat belaka, secara biologis merupakan fenomena metamorphosis dari semula dikuasai negara dan merupakan sumber dividen sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak pada APBN menjadi badan hukum swasta. Perbedaan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014 adalah bahwa PP No 72 Tahun 204 diterbitkan on purpose spesiaal untuk holdingisasi PT (Persero) Perkebunan Nusantara I s.d PT (Persero) Perkebunan Nusantara XIV menjadi hanya satu PT (Persero) Perkebunan Nusantara. Sedangkan PP No 72 Tahun 2016 adalah so-called "landasan hukum" untuk memprivatisasi seluruh BUMN menjadi holding company.
Kesamaan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014 adalah kekuatannya sebagai mantera penghilang BUMN. Dengan kedua PP ini secara kimiawi BUMN telah menyublim menjadi badan hukum privaat belaka, secara biologis merupakan fenomena metamorphosis dari semula dikuasai negara dan merupakan sumber dividen sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak pada APBN menjadi badan hukum swasta. Perbedaan PP No 72 Tahun 2016 dengan PP No 72 Tahun 2014 adalah bahwa PP No 72 Tahun 204 diterbitkan on purpose spesiaal untuk holdingisasi PT (Persero) Perkebunan Nusantara I s.d PT (Persero) Perkebunan Nusantara XIV menjadi hanya satu PT (Persero) Perkebunan Nusantara. Sedangkan PP No 72 Tahun 2016 adalah so-called "landasan hukum" untuk memprivatisasi seluruh BUMN menjadi holding company.
Terdapat beberapa hal dari implementasi
PP No 72 Tahun 2016, baik dalam bentuk potensi masalah; batu uji dan para
stakeholders yang rasa herannya lahir belakangan. Hal pertama yang bukan tidak mungkin
tidak terjadi, jika para pemegang saham publik (pemegang saham minoritas dan
free float shareholders) di ke-tiga BUMN Tbk menolak perubahan status menjadi
perusahaan privaat, maka terhadap pemegang saham yang memberikan suara
“menolak”, pemegang saham pengendali baru akan terkena kewajiban untuk
melakukan tender offer.
Hal kedua, berkaitan dengan hal pertama, seharusnya OJK
segera mengumumkan atau menyatakan pendapat atau memberikan fatwa apakah
transaksi ini dikategori sebagai transaksi afiliasi dan mengandung benturan
kepentingan atau tidak. Juga apakah transaksi ini dikategori sebagai transaksi
material atau tidak. Sebab jika transaksi ini mengandung benturan kepentingan maka
kuorum RUPSLB yang dihitung adalah kuorum minoritas (hanya dihitung dari
pemegang saham free float dan minoritas) dan pemegang saham pengendali (dalam
hal ini kuasa pemegang saham negara) tidak boleh mengambil suara karena obyek
pengambilan keputusan RUPSLB adalah transaksi yang akan dilakukan Negara yang
akan mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada PT (Persero) Inalum.
Hal ketiga dan mustinya menjadi batu
uji terhadap integritas, profesionalisme dan objektifitas bukan saja Badan
Pemeriksa Keuangan tetapi juga Kantor Akuntan Publik adalah bagaimana nantinya pilihan
kata dan diksi pada opini BPK dan (KAP yang diawasinya dalam mengaudit BUMN
bersangkutan) baik pada laporan keuangan auditan (audited financial report) maupun
pada laporan audit kepatuhan (compliance report).
Hal ke-empat, adalah bagaimana KPK
akan menyikapi transaksi ini. Sulit menarasikannya secara langsung dan lebih mudah
menggunakan dalam bentuk kalimat tanya majas (metafora). Bagaimana sikap KPK,
jika negara yang mengumpulkan dan menyisihkan sen demi sen, rupiah demi rupiah
(yang karenanya disebut keuangan negara yang dipisahkan) untuk membeli semen atau pupuk phospat dan kemudian pihak yang ditugasi menjaga
dan menyimpan semen atau pupuk phospat bertindak sangat sembrono dan sehingga karena
sifatnya yang higroskopis, maka semen atau pupuk phospat berubah menjadi batu
dan tidak lagi dapat digunakan. Apakah KPK akan mempertimbangkannya sebagai
kerugian pada keuangan negara?
Yang terakhir adalah saat pembahasan
item Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam RAPBN, tiba-tiba para legislator pembahas akan merasa
kehilangan BUMN yang selama ini diandalkan menyetorkan dividen sebagai PNBP. Ternyata yang
bisa hilang, dihilangkan dan menghilang bukan hanya Harry Houdini dan “You Know Who” saja,
BUMN yang merupakan keuangan negara yang dipisahkan dengan aset trililunan rupiah pun dapat dengan mudah hilang, menyublim dan
bermetamorfosa menjadi perusahaan privat. Di Amerika Serikat, ketidaksepakatan antara senat dengan executive branch dalam pembahasan state budget (RAPBN) berpotensi pada apa yang disebut sebagai government shutdown.
Wallahualam bis sowab